Minggu, 27 Desember 2009

Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya

Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.
Yap..itu adalah penggalan kalimat Pak Harfan di film Laskar Pelangi. Nggak tahu kenapa, tapi kalimat itu begitu mengena dalam kehidupanku.


Di antara banyak hal yang terjadi dalam hidupku, salah satu yang menyenangkan ialah jika aku bisa menyenangkan orang lain. “No joy can equal the joy of serving others”, hehe…. Melihat senyuman dari orang-orang yang kita sayangi adalah kebahagiaan tersendiri dalam hidupku. Oleh sebab itulah, aku selalu berusaha menjadi orang yang bisa bermanfaat untuk orang lain. Yah…, minimal tidak menjadi benalu buat mereka.
Aku tidak mengharapkan pujian dan balasan untuk apapun yang kuberikan untuk orang lain. Karena ketika itu yang kuharapkan, maka kecewa yang akan kudapatkan. Pujian dari manusia sama sekali tidak ada untungnya bagiku. Itu hanya akan menambah ukuran kepala , dan balasan membuat hal-hal berikutnya yang aku lakukan tidak lagi se-ikhlas dulu. Aku hanya ingin menyenangkan orang lain, sebab sebaik-baik manusia ialah ia yang bisa bermanfaat bagi orang lain.
Pernah dengar hadits yang berbunyi seperti ini…??
“tidaklah sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”
Hadits itu yang menjadi pegangan dalam hidupku yang menyangkut hubungan ku dengan orang lain, khususnya untuk mereka yang kucintai karena Allah. Aku akan merasa sangat menyesal jika di saat tak ada lagi kesempatan, aku belum memberikan sesuatu yang bermanfaat untuk orang yang aku sayangi.
Tapi jangan kira aku melakukannya semata-mata hanya untuk orang lain, lantas tak ada gunanya untukku. Hoho…
Seperti hadits berikut ini…
“di antara tanda kebaikan keislaman seseorang ialah ia meninggalkan perkara yang tidak berguna baginya”
Dan jika dihubungkan dengan hadist lainnya
“sesungguhnya setiap amalan itu bergantung dari niatnya…”
Maka jelas, jika suatu perkara dilakukan oleh seseorang yang nampaknya tidak ada gunanya bagi dirinya, maka hal itu belum tentu benar-benar tidak berguna. Sebab kita tidak tahu apa yang mendasari orang tersebut melakukannya. Kita tidak tahu apa tujuan sebenarnya seseorang melakukan sesuatu, sehingga hanya diri orang itulah yang tahu seberapa berguna apa yang ia lakukan.
Dan untuk segala hal yang kulakukan, tentu aku punya niat yang tidak saja agar bermanfaat bagi orang lain, tapi juga bermanfaat bagi diriku sendiri.
Lantas apa untungnya melakukan sesuatu untuk orang lain??? Yaahh…biarkan Allah yang menjawabnya. Yang jelas, aku hanya berusaha meniatkan segala hal yang kulakukan adalah semata-mata karena Allah, maka aku tak perlu buru-buru tahu manfaatnya untukku. Kubiarkan kehidupanku berjalan sesuai alurnya, sebab yang kupahami ialah bahwa aku tidak akan pernah mendahului takdir.

BERANI TERIMA TANTANGAN??

Ada teka-teki nih… special dari Einstein. Di akhir musim dingin tahun 1963, Amerika sempat dibuat pusing dengan puzzle (teka-teki) yang dibuat oleh Einstein (mungkin sama pusingnya dengan kasus WTC). Dia menyatakan 98 % penduduk dunia tidak mampu memecahkan teka-teki ini. Sesusah apa sih?? Berani nggak mencoba tantangan baru?? Siapa tahu kamu bisa menjadi salah satu dari 2% orang yang bisa menjawab teka-teki ini dengan benar. Ini dia teka-tekinya…


Ada 5 buah rumah dengan warna berbeda, yang dihuni oleh satu orang pria dengan kebangsaan yang berbeda-beda. Setiap orang tersebut ternyata mempunyai jenis minuman, binatang piaraan, dan menyukai merek rokok yang berbeda satu sama lainnya.
Pertanyaannya : Susun rumah tersebut berdasarkan penghuninya, dan siapa yang memelihara ikan ?
Petunjuk :
 Orang Inggris tinggal di rumah Merah.
 Orang Swedia memelihara anjing.
 Orang Denmark senang minum the.
 Rumah hijau terletak tepat disebelah kiri rumah putih.
 Orang di rumah hijau suka minum kopi.
 Orang yang memelihara burung suka merokok Pall Mall.
 Penghuni rumah yang terletak di tengah-tengah senang minum susu.
 Penghuni rumah kuning merokok Dunhill.
 Orang Norwegia tinggal di rumah paling pertama (paling kiri).
 Perokok Marlboro tinggal di sebelah orang yang memelihara kucing.
 Perokok Dunhill tinggal di sebelah orang yang memelihara kuda.
 Perokok Winfield senang minum bir.
 Di sebelah rumah biru tinggal orang Norwegia.
 Orang Jerman suka rokok Rothmans.
 Perokok Marlboro bertetangga dengan orang yang suka minum air.

Hayoo… bisa nggak??
Kalo saya bisa, kenapa kamu nggak???
Selamat berfikir…!!!

Keikhlasan Hati Pegolf Profesional

Dalam salah satu buku karya Jim Dornan, diceritakan tentang seorang pegolf professional. Suatu hari pegolf itu baru saja pulang dari turnamen golf yang ia menangkan. Di tempat parker, ia bertemu dengan seorang wanita yang tengah menangis. Wanita itu mendekati pegolf tersebut dan menceritakan kepadanya tentang bayinya yang tengah sakit parah dan di rawat di rumah sakit. Wanita itu menangis sebab ia tidak mampu membayar biaya perawatan bayinya di rumah sakit.


Wanita itu memohon pada pegolf ini agar mau menyumbangkan sebagian dari hadiah uang yang ia menangkan. Wanita itu berkata sambil menangis bahwa karena tidak memiliki uang maka tidak ada obat yang bisa diberikan kepada anaknya yang tengah sakit. Hati pegolf itupun tersentuh dan kemudian ia memberikan semua uang yang ia dapatkan untuk membantu biaya perawatan bayi dari wanita itu. Ia berharap dengan uang yang ia berikan, bayi itu segera sembuh dari penyakitnya.
Beberapa hari kemudian, pegolf itu kembali ke lapangan golf. Ia menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya tersebut kepada teman-temannya. Namun beberapa temannya berkata, “Wah, Anda telah tertipu oleh wanita itu. Itu bukan pertama kalinya ia berbuat begitu. Kasihan, anda menjadi korbannya. Pekerjaan wanita itu memang selalu menipu orang.”
Pegolf itu pun berkata, “Jadi, tidak ada bayi yang sakit keras?”
Mereka menjawab, “Jelas tidak!”
Lalu pegolf itu berkata lagi, “Bagus! Lega hati saya karena ternyata anak wanita itu tidak ada yang sakit.”

Cobalah kita berfikir, jika kita mengalami peristiwa yang dialami pegolf itu. Apa reaksi kita kalau ada orang yang berkata bahwa diri kita baru saja ditipu? Apa reaksi kita jika menyadari bahwa kita memberikan uang kita kepada seorang penipu?? Apakah kita akan merasa lega karena kekhawatiran kita pada bayi yang sakit tidak beralasan? Atau, kita justru memikirkan uang kita yang sudah hilang???

Jumat, 25 Desember 2009

Kasih Seorang Ibu

Pada suatu malam seorang anak kecil menghampiri ibunya yang sedang berada di dapur membereskan sisa makan malam. Anak kecil itu menyerahkan selembar kertas yang telah ditulisinya kepada ibunya. Setelah sang ibu mengelap kering tangannya lalu ia meraih kertas tersebut dan membacanya. Kertas tersebut berisi tulisan :

• Memotong rumput : 5 Dollar
• Membersihkan dan merapikan halaman : 2 Dollar
• Membersihkan kamarku minggu ini : 1 Dollar
• Pergi ke toko : Setengah Dolar
• Menjaga adik ketika ibu pergi berbelanja : 25 Cent
• Membuang sampah : 1 Dolar
• Mendapat nilai bagus disekolah : 5 Dollar
Total tagihan : 14.75 Dollar
Lalu, sang ibu menatapnya dan sang anak melihat sang ibu memikirkan sesuatu. Sang ibu pun mengambil pulpen. Kertas itu dibaliknya lalu dia menulis:
• Untuk Sembilan bulan aku mengandungmu : GRATIS
• Untuk semua mainan, makanan, baju dan bahkan mengelap hidungmu : GRATIS
• Untuk semua hal dan air mata yang keluar karenamu : GRATIS
• Untuk semua malam dengan ketakutan dan kekhawatiran tentangmu : GRATIS
• Nak, harga kasih sayangku padamu : GRATIS
Ketika sang anak selesai membaca tulisan sang ibu, ia spontan menangis dan menatap sang ibu sambil berkata, “Bu, Aku menyayangimu.” Lalu sang anak mengambil pulpen dan menulis “LUNAS” dengan huruf besar.
Hikmah :
1. Anda tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya menjadi orang tua sampai suatu saat anda menjadi Orang Tua
2. Jadilah pemberi dan buka peminta, khususnya kepada orang tua anda. banyak yang bisa anda berikan selain uang.
~sya_dza~

Aku Menangis untuk Adikku 6 kali

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
----------

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ... Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!"

Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas). Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"

Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"

Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..." Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."

Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"

Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!" "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

[Diterjemahkan dari "I cried for my brother six times"]
~sya_dza~

Jika Aku Jatuh Cinta

Ya Allah, jika aku jatuh cinta
Cintakanlah aku pada seseorang yang melabuhkan cintanya pada-Mu,
Agar bertambah kekuatan ku untuk mencintai-Mu.
Ya Muhaimin, jika aku jatuh cinta,
Jagalah cintaku padanya agar tidak melebihi cintaku pada-Mu
Ya Allah, jika aku jatuh hati,
Izinkanlah aku menyentuh hati seseorang yang hatinya tertaut pada-Mu, Agar tidak terjatuh aku dalam jurang cinta semu.
Ya Rabbana, jika aku jatuh hati,
jagalah hatiku padanya, agar tidak berpaling pada hati-Mu.
Ya Rabbul Izzati, jika aku rindu,
Rindukanlah aku pada seseorang yang merindui syahid di jalan-Mu.
Ya Allah, jika aku rindu,
jagalah rinduku padanya, agar tidak lalai aku merindukan syurga-Mu.
Ya Allah, jika aku menikmati cinta kekasih-Mu,
Janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan Indahnya bermunajat di sepertiga malam terakhirmu.
Ya Allah, jika aku jatuh hati pada kekasih-Mu,
Jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh
Dalam perjalanan panjang menyeru manusia kepada-Mu.
Ya Allah, jika Kau halalkan aku merindui kekasih-Mu,
Jangan biarkan aku melampaui batas sehingga Melupakan aku pada cinta hakiki dan rindu abadi hanya kepada-Mu.
Ya Allah Engaku mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu,
Telah berjumpa pada taat pada-Mu, telah bersatu dalam dakwah pada-MU,Telah berpadu dalam membela syariat-Mu.
Kokohkanlah ya Allah ikatannya. Kekalkanlah cintanya.
Tunjukilah jalan-jalannya.Penuhilah hati-hati ini dengan nur-Mu yang tiada pernah pudar.
Lapangkanlah dada-dada kami........Dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan
bertawakal di jalan-Mu